Surat dari Jakarta ; ANAK NEGERI
DI TANAH JAWA
Di sebuah
stasiun kereta api pinggiran Jakarta beberapa tahun silam beta* bertemu dengan seorang mantan petinju profesional asal
Maluku. Dengan lamban dan kadang terbatah-batah dia bercerita ingin pulang ke
kampungnya di Maluku, akan tetapi tidak
memiliki ongkos. Karier tinju yang dijalaninya telah berakhir tanpa prestasi
yang baik. Tetapi yang dialami adalah dampak buruk kesehatan seperti orang yang
kehilangan ingatan. Sambil menikmati kopi pedagangan asongan di peron stasiun
kereta api, katong bacarita*. Dia
tidak memiliki uang samasekali, bahkan untuk ongkos kereta listrik yang hanya
duaribu rupiah – saat itu, pun tidak punya.
Dilain waktu, beta
bertemu lagi dengan orang lain. Yang ini cenderung diam dan sulit berbicara
karena dipukuli dalam penjara dan tidak mendapatkan fasilitas perawatan
kesehatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Ketika beta temui, dia baru bebas dari menjalani
hukuman penjara akibat terlibat bentrok kelompok masa dengan kelompok (suku)
lain mempertahankan lahan tanah milik perusahaan pengemban perumahan.
Dijebloskan kedalam penjara akibat menebas lawannya dengan parang. Beta ajak dan
tinggal beberapa waktu di rumah beta, lalu
dipulangkan ke kampungnya di Maluku.
Beberapa
bulan lalu dari seorang kenalan anggota Polisi (Brimob) beta diingatkan untuk
berhati-hati di jalan. Kabarnya ada pencarian “orang(suku) Ambon”, karena ada
anggota Brimob yang di pukuli oleh “orang(suku) Ambon”di sekitar kota Depok.
Lalu beberapa minggu lalu beradar berita melalui BBM (Blackberry Masanger), ditujukan
kepada “orang(suku) Ambon” agar tidak keluar rumah karna sedang dicari-cari oleh
orang(suku) tertentu sebagai akibat bentrokan perebutan lahan parker disuatu
tempat di kota Bekasi yang menyebabkan jatuh korban di pihak orang(suku)
setempat.
Kabar berita seperti disampaikan di atas hanya
bagian kecil dari setumpuk masalah dan kasus anak negeri di rantau orang. Bila
dihimpun untuk diceritakan, membutuhkan banyak lembar halaman dan bersambung
bahkan tidak pernah berujung dan tamat. Berpuluh tahun
sebelumnya, sekarang dan mungkin sampai sekian waktu ke depan, masih akan
mungkin ditemui kejadian, peristiwa, kasus dan tidak lagi menjadi konsumsi
berita di media karena terlalu sering terjadi dan akan mungkin nanti masih terjadi
lagi.
Indonesia merupakan negara dengan lebih
dari dua ratus lima puluh suku bangsa dengan bahasa, adat istiadat
masing-masing, ada berbagai agama dan kepercayaan, terpisah-pisah di
pulau-pulau dibentangan ruang wilayah laut yang lebih luas sekian kali dari
wilayah seluruh negara Eropa, bahkan warna kulit atau ras pun hampir bisa
dengan mudah dibedakan. Ke-behineka tunggal ika-an, difalsafahkan sebagai
kesatuan dalam perbedaan, sepertinya bagus dalam ramuan tapi masih mungkin sangat
terasa pahit kala diminum, atau mungkin tidak semudah meracik rujak pantai Natsepa, yang menyatukan berbagai buah manis, asam, tawar, dengan bumbu yang manis, asin dan
pedas.
Di Jakarta semua uang di Negara ini
terkumpul, ibukota Negara, konsentrasi ekonomi dan dari Jakarta, Indonesia dengan segala isinya di atur,
dikendalikan, dan dipusatkan, termasuk pusat tujuan orang Indonesia termasuk
dari Ambon-Maluku dan juga pusat banjir. Di Maluku, kota Ambon menjadi
pemusatan seperti Jakarta van Amboina, miniatur
Indonesia untuk Maluku. Semua
berpusat di kota Ambon sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian,
konsentrasi tujuan perjalanan dari berbagai wilayah pulau di Maluku.
Dari Ambon, beta mendapat cerita dari seorang teman bahwa kota Ambon sekarang kian sesak, sempit, kumuh, kotor dan
semrawut, juga banjir besar, bukit-bukit terjal yang mudah longsor sudah
menjadi lokasi hunian warga. Jalan raya yang sudah tidak seberapa panjang dan
luas tidak lagi mampu memuat kendaraan yang lebih banyak kendaraan pribadi.
Masih menurut yang di kabarkan telah terjadi perubahan signifikan peningkatan
kesejahteraan masyarakat Maluku yang ditandai peningkatan kepemilikan kendaraan
bermotor hingga macet dimana-mana di kota Ambon, kata temanku itu komentar dari
pejabat pemegang kekauasaan. Tapi ada catatan kaki dari cerita itu bahwa
kendaraan pribadi ber-plat nomor polisi berwarna hitam yang banyak itu mestinya
ber-plat merah, karena setiap tahun selalu ada anggaran pengadaan kendaraan
mobil di anggaran daerah (APBD).
Antara Jakarta dan Ambon dalam “cerita” di
atas tentunya ada perbedaan, namun ada juga persamaannya, yaitu menjadi tujuan
orang. Jakarta menjadi tujuan semua orang Indonesia dan Ambon menjadi tujuan
semua orang di Maluku.
Ketika sesorang
meninggalkan tempat kelahiran atau kampung halamannya, ada banyak alasan tapi
sejatinya adalah meratau karena suatu tujuan. Sekadar merantau adalah terserah
yang bersangkutan atau siapapun. Akan tetapi bila alasan ketidak-tersediaan ruang
dan peluang untuk menjalani kehidupan sehingga sesorang harus merantau, maka
ini yang menjadi permasalahan.
Penciptaan peluang dan dan
ruang dalam konteks penyelenggaran pemerintahan, merupakan tanggung jawab utama
para penjabat pemegang kekuasaan di semua tingkatan, guna melayani kepentingan
masyarakat memenuhi kebutuhan dan mewujudkan impian-impiannya.
Membayangkan Maluku yang kaya dengan
berbagai sumber daya alam pada ruang wilayah yang begitu luas dan indah,
sangatlah disesali bahkan tidak perlu terjadi, kala memaknai potongan-potongan
cerita yang beta sampaikan di awal
tulisan ini. Mesti segera ada introspeksi pada tataran serta rana kesadaran dan
keikhlasan serta ketulusan para penyelenggara pemerintahan di Maluku untuk
benar-benar membaktikan jabatannya untuk pengelolaan kebijakan yang semata
bertujuan mensejahterakan masyarakat dengan adanya kelimpahan sumber daya yang begitu
kaya dan menjanjikan. Dengan begitu orang Ambon-Maluku tidak harus terlantar
dan menjadi “preman” di Jakarta.
Ya, siapa suruh datang
Jakarta ? tidak ada yang menyuruh, tetapi pada kenyataannya ruang dan peluang
yang sengaja secara sadar tidak dibuat dan disediakan oleh para pejabat
pemegang kebijakan publik di Maluku,
sehingga manakala memilih menjadi “preman” tentu bukan pilihan apalagi solusi
anak negeri dari Ambon-Maluku di Jakarta, tapi adalah keterpaksaan dan kondisi
seperti ini mestinya ada yang bicara mengatakan bertanggung jawab sekaligus
menawarkan jalan keluar.
Adakah diantara para calon
Gubernur Maluku memiliki visi, misi dan program mengenai orang Maluku yang
terlantar dan menjadi preman di negeri orang ?
Demikian kabar, berita dan cerita nasib
anak negeri Ambon-Maluku di Jakarta-tanah
Jawa** untuk basudara di kampung
halaman.
Bekasi, Awal Tahun 2013
Oleh : M.Thaha Pattiiha _______________________________
Direktur Eksekutif LSM ‘EMBUN’Community, tinggal di Kota Bekasi.
)* beta (saya),
katong bacarita (kami saling bercerita) – bhs.orang di Ambon
)** tanah jawa - dari lagu Ambon ; ‘beta pergi merantau’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar