Pilkada Maluku 2013
Menakar Para Kandidat ‘PEMIMPIN’ Maluku
Adakah yang lebih menyebalkan selain dari
harapan-harapan yang tidak terpenuhi? Mungkinkah dengan diam dalam ke-tawakal-an sesorang ataupun banyak orang,
segenap ketidak berdayaan dengan segudang ketidak puasan dapat
terselesaikankah. Selalu demikian ketika membangun impian dengan membebankan
kepada seseorang atau orang lain yang dianggap pemimpin, selalu menimbulkan
ketidak pastian, sebab pemenuhannya ada pada sang “pemimpin”.
Manakah
kriteria baku persyaratan pemimpin seperti yang dipelajari dan difahami,
berbanding lurus dengan kenyataan sepanjang waktu hingga kini, kala tumpukan
permasalahan tidak juga terselesaikan. Harapan-harapan entah kapan terwujud.
Disemua pemeluk agama dengan
masing-masing kitab sucinya, ada ajaran tentang kepemimpinan, bagaimana menjadi
pemimpin dan menjalankan kepemimpinannya, termasuk catatan berupa peringatan dan
sanksi. Tentunya ajaran semua agama tentang kesadaran akan akibat buruk menghianati
perintah Tuhan, tentu tidak perlu lagi diingatkan bisa-bisa dianggap sok meng-guru-i.
Begitulpun para “pemimpin” yang saat
ini berseteru mengadu nasib memperebutkan kursi orang nomor satu dan dua,
Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi - Seribu Pulau, Maluku.
Dalam alam demokrasi saat ini semua
orang terbuka kesempatan mengajukan dirinya untuk dijadikan pemimpin, melalui
tahapan yang dipersyaratkan oleh aturan-aturan dan Undang-undang. Tidak ada
yang membatasi kecuali persyaratan itu sendiri. Yang tidak ikut-ikutan menjadi
kontestan, padanya terletak hak istimewa untuk memutus, menentukan nasib para
calon pemimpin, siapa yang akan dipilih.
Di berbagai tempat terpasang spanduk,
stiker atau balihgu dengan ukuran maksimal, dengan mudah kita dapat melihat
gambar wajah atau sosok orangnya, membaca tampilan visi, misi dan program
pembangunan yang tertulis, selalu bagus.Karena memang dibuat dengan mempertimbangkan
berbagai hal yang memungkinkan terlihat indah dan menarik untuk dilihat dan
dibaca orang. Tapi dibalik itu semua, sikap bijak dan nalar intelektual
berbarengan dengan menggunakan daya tapis dan analisa etika dan moral akan
menghasilkan pemahaman yang transparan serta utuh mengetahui bahwa karakter dan otobiografi
para calon, ternyata kadang berbanding terbalik dengan yang dipublikasikan.
Sebagian besar para calon masih
berstatus memimpin daerah, baik di Propinsi maupun di Kabupaten. Tidak ada
larangan, tapi ada ukuran realistis matematis, sekalipun ini rana politik
dimana pendekatan pemahaman memakai keterbukaan ruang demokrasi.
Acuan untuk mengukur kadar kemampuan
dan kematangan menjadikan seseorang mengajukan diri menjadi pemimpin, bilamana
pola pragmatis yang digunakan untuk meraih kemenangan. maka jangan pernah
berharap pada kapabilitas dan kapasitas
yang bersangkutan untuk nantinya
mewujudkan kepentingan orang banyak atau
masyarakat.
Ukuran-ukuran teori politik relatif
dengan mudah ditemui dengan bercermin seperti apa gambaran kepemimpinan di
wilayah masing-masing kandidat yang hari ini masih menjadi tanggungjawab
jabatannya. Baik, buruk, berhasil, biasa saja atau luar biasa, selalu
dipengaruhi sudut pandang dari sisi yang mana dan siapa dia. Seperti apa
hubungannya dengan sang calon, masih bias dan menimbulkan debatable, apalagi
bila memakai pendekatan teori politik ‘forum
politik rumah kopi’.
Mestinya ketika seseorang mangajukan diri untuk menjadi calon Gubernur –
Maluku, sejatinya secara pribadi mempertimbangkan lebih dahulu kapasitas dan
keunggulan prestasi yang telah dicapai dan mumpuni untuk dijual kepada
masyarakat, katakanlah Joko Widodo (Jokowi) –Gubernur DKI Jakarta sekarang, yang
berhasil sebagai Walikota Solo.
Pencapaian
dan keberhasilan program pembangunan adalah unggulan lain setelah kepribadian
dan performa diri yang begitu sangat dipercaya karena bersih dari kasus
menyalagunaan kekuasaan, baik untuk memperkaya diri atau orang lain. Model
Jokowi sangat tidak pantas bila kita sandingkan untuk mengatakan ada
persamaannya dengan para calon Gubernur Maluku saat ini. Ma’af, itu salah berpikir. Kemasan baru, isi binasa.
Ruang demokrasi yang salah asah dan
keliru asuh, memungkinkan mereka yang hanya memiliki kekuasaan karena sedang
menjabat dan/atau ber-uang-lah yang
berkesempatan.
Lupakan
impian anak negeri yang hanya bermodal intelektual dan ketulusan untuk mengabdi
membangun kesejahteraan masyarakat Maluku, tidak dimungkinkan bila tidak ber-uang. Cukuplah berkhayal pada alam impian dan menuai
kenyataan di hembusan angin pantai. Atau cukuplah mencatatkan cita-cita itu di
buku wasiat. Agar disuatu waktu dilain kesempatan anak cucu akan membacanya
lalu memotivasi mereka untuk mentuntaskan cita-cita dan impian tersebut, dimana
saat itu alam demokrasi tidak lagi berhati singa yang bisa memakan anak sendiri
seperti sekarang ini.
Kemurnian pengertian demokrasi termasuk
pembagian kekuasaan dengan trias politikanya yang telah ada beribu tahun hanya
menjadi ilmu wajib perpolitikan berdasarkan kekuasaan rakyat yang didelegasikan
melalui perwakilannya di pemerintahan,
hanya teori di buku. Hak kekuasaan yang dimiliki rakyat dimanipulasi dengan
cara membeli suara mereka, suatu cara
mudah sekarang ini menggapai impian peluang berkuasa bakal gampang diperoleh.
Jangan berharap para calon mengajarkan
moral dan etika demokrasi yang sesungguhnya. Kampanye hanya omong kosong
belaka, karena setelah terpilih, sang pemimpin berpesta sendiri dengan musik
sunyi berirama sepi, di ruang-ruang mewah sambil menebar saweran.
Alasan-alasan rasional untuk menakar kemampuan para kandidat calon
Gubernur Maluku dengan bercermin pada pencapaian prestasi yang saat ini diemban
saja, masih jauh dari harapan. Kecuali pencapaian prestasi korupsi, kolusi dan
nepotisme yang telah bertahun-tahun terindikasi tapi belum satupun yang jadi
tersangka apalagi terhukum dan masuk bui. Yang saat ini menjadi beban tugas dan tanggung
jawab dengan ukuran wilayah pemerintahan (kabupaten) yang kecil terbatas saja
belum mampu, bagaimana mengurus wilayah provinsi yang lebih besar dengan
rentang kendali wilayah laut yang luas (?).
Lalu prestasi positif apa yang akan di tawarkan kepada masyarakat kala
berkampanye dengan maksud merayu untuk mendapatkan perhatian rakyat membeli jualan
program maupun visi misi sang kandidat-calon Gubernur.
Sepertinya mungkin memakai cara yang
lebih santun, sopan dan peduli yaitu
tehnik kampanye door to door, membagi rupiah
dan sarung. Ya, seperti itulah yang
selalu dilakukan selama ini, efektif, suarapun diraih, menang, jadi Gubernur
Maluku.
Dengan demikian dikala menjabat sebagai Gubernur,
yang bersangkutan harus berkonsentrasi dan kreatif guna memperbesar
“pendapatan” bagi diri sendiri agar bisa mengembalikan tambunnya ongkos
pengeluaran saat kampanye pencalonan, ongkos membayar rekomendasi partai, biaya sosialisasi, biaya pada masa kampanye, biaya saksi, termasuk rupiah dan sarung atau barang untuk ditukar dengan suara, dan lain pengeluaran tak terduga.
Berpikir etis dan positif untuk
berharap pada para calon Gubernur Maluku saat ini untuk menitipkan kepada
mereka Maluku ke depan untuk lebih baik, seperti menyelam untuk menemukan dasar
palung laut Banda, kian dalam makin gelap, makin menyelam kian misterius.
Yang
pasti Pilkada tetap berlangsung, sejatinya rakyat Maluku diajak dalam moment
demokrasi yang mencerdaskan, meminimalisir politik pragmatisme, berkampanye
secara jujur, positif dan obyektif. Karena tentunya masih ada harapan yang
terbetik di benak masyarakat Maluku, dan hal itu jangan sampai salah terjemahannya
hanya pada saat dibutuhkan ketika ada hajatan pemilihan Kepalah Daerah Provinsi
atau Gubernur seperti sekarang ini, bila cuma sebatas itu daya dan pola
pikirnya maka masyarakat Maluku hanya boleh bermimpi.
Bekasi,
11 Maret 2013
Penulis
adalah Putra
Seram - Maluku.Tinggal
di Bekasi
Ketua/Direktur
Eksekutif : EMBUN Community, – (LSM Perlindungan Lingkungan & Ekosistem)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar