Sabtu, 20 April 2013

Pilkada Maluku 2013 - Menakar Para Kandidat ‘PEMIMPIN’ Maluku


Pilkada Maluku 2013
Menakar Para Kandidat PEMIMPIN Maluku

          Adakah yang lebih menyebalkan selain dari harapan-harapan yang tidak terpenuhi? Mungkinkah dengan diam dalam ke-tawakal-an sesorang ataupun banyak orang, segenap ketidak berdayaan dengan segudang ketidak puasan dapat terselesaikankah. Selalu demikian ketika membangun impian dengan membebankan kepada seseorang atau orang lain yang dianggap pemimpin, selalu menimbulkan ketidak pastian, sebab pemenuhannya ada pada sang “pemimpin”.
Manakah kriteria baku persyaratan pemimpin seperti yang dipelajari dan difahami, berbanding lurus dengan kenyataan sepanjang waktu hingga kini, kala tumpukan permasalahan tidak juga terselesaikan. Harapan-harapan entah kapan terwujud.
          Disemua pemeluk agama dengan masing-masing kitab sucinya, ada ajaran tentang kepemimpinan, bagaimana menjadi pemimpin dan menjalankan kepemimpinannya, termasuk catatan berupa peringatan dan sanksi. Tentunya ajaran semua agama tentang kesadaran akan akibat buruk menghianati perintah Tuhan, tentu tidak perlu lagi diingatkan bisa-bisa dianggap sok meng-guru-i.
          Begitulpun para “pemimpin” yang saat ini berseteru mengadu nasib memperebutkan kursi orang nomor satu dan dua, Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi - Seribu Pulau, Maluku.
          Dalam alam demokrasi saat ini semua orang terbuka kesempatan mengajukan dirinya untuk dijadikan pemimpin, melalui tahapan yang dipersyaratkan oleh aturan-aturan dan Undang-undang. Tidak ada yang membatasi kecuali persyaratan itu sendiri. Yang tidak ikut-ikutan menjadi kontestan, padanya terletak hak istimewa untuk memutus, menentukan nasib para calon pemimpin, siapa yang akan dipilih.
          Di berbagai tempat terpasang spanduk, stiker atau balihgu dengan ukuran maksimal, dengan mudah kita dapat melihat gambar wajah atau sosok orangnya, membaca tampilan visi, misi dan program pembangunan yang tertulis, selalu bagus.Karena memang dibuat dengan mempertimbangkan berbagai hal yang memungkinkan terlihat indah dan menarik untuk dilihat dan dibaca orang. Tapi dibalik itu semua, sikap bijak dan nalar intelektual berbarengan dengan menggunakan daya tapis dan analisa etika dan moral akan menghasilkan pemahaman yang transparan serta utuh  mengetahui bahwa karakter dan otobiografi para calon, ternyata kadang berbanding terbalik dengan yang dipublikasikan.
Sebagian besar para calon masih berstatus memimpin daerah, baik di Propinsi maupun di Kabupaten. Tidak ada larangan, tapi ada ukuran realistis matematis, sekalipun ini rana politik dimana pendekatan pemahaman memakai keterbukaan ruang demokrasi.
          Acuan untuk mengukur kadar kemampuan dan kematangan menjadikan seseorang mengajukan diri menjadi pemimpin, bilamana pola pragmatis yang digunakan untuk meraih kemenangan. maka jangan pernah berharap pada  kapabilitas dan kapasitas yang bersangkutan  untuk nantinya mewujudkan  kepentingan orang banyak atau masyarakat.
          Ukuran-ukuran teori politik relatif dengan mudah ditemui dengan bercermin seperti apa gambaran kepemimpinan di wilayah masing-masing kandidat yang hari ini masih menjadi tanggungjawab jabatannya. Baik, buruk, berhasil, biasa saja atau luar biasa, selalu dipengaruhi sudut pandang dari sisi yang mana dan siapa dia. Seperti apa hubungannya dengan sang calon, masih bias dan menimbulkan debatable, apalagi bila memakai pendekatan teori politik ‘forum politik rumah kopi’.     
          Mestinya ketika seseorang mangajukan diri untuk menjadi calon Gubernur – Maluku, sejatinya secara pribadi mempertimbangkan lebih dahulu kapasitas dan keunggulan prestasi yang telah dicapai dan mumpuni untuk dijual kepada masyarakat, katakanlah Joko Widodo (Jokowi) –Gubernur DKI Jakarta sekarang, yang berhasil sebagai Walikota Solo.
Pencapaian dan keberhasilan program pembangunan adalah unggulan lain setelah kepribadian dan performa diri yang begitu sangat dipercaya karena bersih dari kasus menyalagunaan kekuasaan, baik untuk memperkaya diri atau orang lain. Model Jokowi sangat tidak pantas bila kita sandingkan untuk mengatakan ada persamaannya dengan para calon Gubernur Maluku saat ini. Ma’af,  itu salah berpikir. Kemasan baru, isi binasa.
            Ruang demokrasi yang salah asah dan keliru asuh, memungkinkan mereka yang hanya memiliki kekuasaan karena sedang menjabat dan/atau ber-uang-lah yang berkesempatan.  
Lupakan impian anak negeri yang hanya bermodal intelektual dan ketulusan untuk mengabdi membangun kesejahteraan masyarakat Maluku, tidak dimungkinkan bila tidak ber-uang.  Cukuplah berkhayal pada alam impian dan menuai kenyataan di hembusan angin pantai. Atau cukuplah mencatatkan cita-cita itu di buku wasiat. Agar disuatu waktu dilain kesempatan anak cucu akan membacanya lalu memotivasi mereka untuk mentuntaskan cita-cita dan impian tersebut, dimana saat itu alam demokrasi tidak lagi berhati singa yang bisa memakan anak sendiri seperti sekarang ini.
           Kemurnian pengertian demokrasi termasuk pembagian kekuasaan dengan trias politikanya yang telah ada beribu tahun hanya menjadi ilmu wajib perpolitikan berdasarkan kekuasaan rakyat yang didelegasikan melalui perwakilannya  di pemerintahan, hanya teori di buku. Hak kekuasaan yang dimiliki rakyat dimanipulasi dengan cara membeli suara mereka,  suatu cara mudah sekarang ini menggapai impian peluang berkuasa  bakal gampang diperoleh.
Jangan berharap para calon mengajarkan moral dan etika demokrasi yang sesungguhnya. Kampanye hanya omong kosong belaka, karena setelah terpilih, sang pemimpin berpesta sendiri dengan musik sunyi berirama sepi, di ruang-ruang mewah sambil menebar saweran.
           Alasan-alasan rasional untuk menakar kemampuan para kandidat calon Gubernur Maluku dengan bercermin pada pencapaian prestasi yang saat ini diemban saja, masih jauh dari harapan. Kecuali pencapaian prestasi korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah bertahun-tahun terindikasi tapi belum satupun yang jadi tersangka apalagi terhukum dan masuk bui.  Yang saat ini menjadi beban tugas dan tanggung jawab dengan ukuran wilayah pemerintahan (kabupaten) yang kecil terbatas saja belum mampu, bagaimana mengurus wilayah provinsi yang lebih besar dengan rentang kendali wilayah laut yang luas (?).  Lalu prestasi positif apa yang akan di tawarkan kepada masyarakat kala berkampanye dengan maksud merayu untuk mendapatkan perhatian rakyat membeli jualan program maupun visi misi sang kandidat-calon Gubernur.
Sepertinya mungkin memakai cara yang lebih santun, sopan dan peduli yaitu tehnik kampanye door to door, membagi rupiah dan sarung. Ya, seperti itulah yang selalu dilakukan selama ini, efektif, suarapun diraih, menang, jadi Gubernur Maluku.
 Dengan demikian dikala menjabat sebagai Gubernur, yang bersangkutan harus berkonsentrasi dan kreatif guna memperbesar “pendapatan”  bagi diri sendiri  agar bisa mengembalikan tambunnya ongkos pengeluaran saat kampanye pencalonan, ongkos membayar rekomendasi partai, biaya sosialisasi, biaya pada masa kampanye, biaya saksi, termasuk rupiah dan sarung atau barang untuk ditukar dengan suara, dan lain pengeluaran tak terduga.
            Berpikir etis dan positif untuk berharap pada para calon Gubernur Maluku saat ini untuk menitipkan kepada mereka Maluku ke depan untuk lebih baik, seperti menyelam untuk menemukan dasar palung laut Banda, kian dalam makin gelap, makin menyelam kian misterius.
Yang pasti Pilkada tetap berlangsung, sejatinya rakyat Maluku diajak dalam moment demokrasi yang mencerdaskan, meminimalisir politik pragmatisme, berkampanye secara jujur, positif dan obyektif. Karena tentunya masih ada harapan yang terbetik di benak masyarakat Maluku, dan hal itu jangan sampai salah terjemahannya hanya pada saat dibutuhkan ketika ada hajatan pemilihan Kepalah Daerah Provinsi atau Gubernur seperti sekarang ini, bila cuma sebatas itu daya dan pola pikirnya maka masyarakat Maluku hanya boleh bermimpi.
Bekasi, 11 Maret 2013

Penulis adalah Putra Seram - Maluku.Tinggal di Bekasi 
Ketua/Direktur Eksekutif :  EMBUN Community,  – (LSM Perlindungan Lingkungan & Ekosistem)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar