Rabu, 01 Mei 2013

Alifuru dalam Sejarah


          Sejarah merupakan peristiwa masa sebelum saat sejarah itu ditulis dan adalah kumpulan catatan perjalanan masa tentang sesuatu, sesorang, suatu kaum atau suku-bangsa. Intinya masa lalu yang diingat, diketahui kemudian diceritakan kembali melalui tutur-cerita lisan atau pun tulisan. Ketika bercerita atau menulis, sesorang cenderung terbawa emosi larut bertutur bisa secara jujur, tapi mungkin juga berbohong atau asal dan mungkin membias karena sudah didramatisir, sebagaimana juga dengan sejarah tentang suku-bangsa Alifuru.

Pemaparan tentang sejarah suatu kejadian dikurun waktu sebelumnya terkadang mengalami distorsi atau pengaruh kepentingan baik oleh pengungkap, sumber, juga peruntukan kepentingan siapa dan untuk apa. Apalagi bila data dokumentasi acuannya tersembunyi atau tidak tersedia,  menghasilkan pengungkapan sejarah yang multi tafsir dan menimbulkan keraguan. Sangat mungkin dipertanyakan kejujuran apalagi kebenarannya.


Secara teori, sejarah ditafsirkan sebagai gambaran lengkap dan detail mengenai peristiwa disuatu waktu dan ruang keberadaan manusia atau tentang sesuatu selain manusia. Begitupun dalam sistem pendataan sejarah dikenal dua jenis data. “Pertama, data tentang rekaman peristiwa di dalam suatu masa, yang memuat tindakan para aktor yang adalah elite dalam sistem sosial di masa lampau. Data ini berbentuk laporan-laporan atau arsip, dokumentasi, dan bangunan (yang lebih banyak menjadi fokus arkeologi). Kedua, hasil penafsiran suatu peristiwa sejarah, yang disusun oleh orang-orang lain di masa kemudian, sebagai suatu bentuk tela’ah kritis terhadap jenis data pertama. Data jenis kedua ini pun terbagi menjadi dua, yaitu penafsiran ‘komunitas penulis sejarah’ yang cenderung bertendensi politis, dan penafsiran kritikus yang melihat adanya sisi-sisi tertentu yang terabaikan, atau adanya ketimpangan didalam rangkaian sejarah itu, dsb – dipertanyakan mengapa tindakan orang-orang lokal tidak terekam sebagai event yang penting dalam sejarah. Bahwa manusia adalah produk dari sejarah itu sendiri, dan memiliki eksistensi historis, artinya memiliki relasi setara antara dirinya dengan orang lain di tengah lingkungan keberadaannya itu (zitz im leben). Idealnya bahwa penceritaan sejarah harus memandang setiap pelaku sejarah sebagai orang-orang yang sejajar, memiliki peran yang sama-sama penting dalam bingkai sejarah” ( Elifas Tomix  Maspaitella,  Jejak Cina di Maluku. Blog, diposkan Julia Soplanit dan edit oleh Penulis)


Suku-bangsa Alifuru diakui keberadaannya sebagai penduduk asli kepulauan Maluku dengan pemukiman awal berpusat di pulau Seram, pulau terbesar di antara hampir seribu buah pulau  dalam gugus kepulauan Maluku. Menurut beberapa  Antropolog, a.l.;  A.H. Keano,  pulau Seram dari dahulu telah didiami oleh suatu suku bangsa yaitu bangsa “Aliforos”. Bangsa ini berasal dari campuran antara Kaukus Mmongol dan bangsa Papua.  Oleh  Antropolog F.J.P. Sache dan dr O.D. Tauern mereka berpendapat bahwa suku Alifuros Alune (ada juga Wemale ; Bloger) yang mendiami bagian barat pulau Seram, berasal dari bagian utara yaitu kemungkinan berasal dari Sulawesi bagian utara atau Halmahera, sebab di pulau Halmahera juga terdapat suku Aliforos.

Pencapaian hasil penelitian para Antropolog tersebut patut di hargai, tapi dipertanyakan untuk bagian tengah dan timur pulau Seram, karena hanya berpusat di bagian barat.  Sehingga terkesan terbaca miring bila melihat titik-titik penyebaran kumunitas suku-bangsa Alifuru khususnya di pulau Seram, yang disebut dengan Nusa Ina. Belum lagi bila acuannya berdasarkan sejarah-tutur atau pengumpulan data dan informasi hanya secara lisan dari masyarakat suku-bangsa Alifuru yang menjadi objek penelitian yang berpusat di wilayah barat pulau. Dapat diterima agar kita dapat meyakini kebenaran sejarah yang di tulis. bila ada bukti nyata melalui penemuan data lapangan berupa situs atau tanda di alam misalnya perkakas/alat perlengkapan untuk berkebun, berburu, menangkap ikan, maupun tulisan atau mungkin gambar di dinding batu. Bahwa kemudian hasil penelitian tersebut mewakili  sejarah awal atau  mula asal-muasal suku-bangsa Alifuru  dari tempat bernama Nunusaku dengan tiga batang air, eti-tala-sapalewa, yang mencakup hanya seperempat dari luas pulau Seram ? Atau karena adanya data dokumenter dari bangsa Belanda yang waktu itu bisanya hanya dapat menundukan dan menguasai suku-bangsa Alifuru di Seram bagian  barat dan berhasil mengacak-acak sistem tata nilai dan tata pemerintahan dan mencukur habis para Kapitan penguasa petuanan lalu diganti dengan para penguasa boneka Belanda, misal di Eti, juga Kaibobu – yang terakhir ini - politik devide et empera, hilang dari catatan Belanda, pasti. 
Sangat dipertanyakan penelitian para Antropolog hanya cenderung berpusat di wilayah bagian barat pulau Seram, tidak dilakukan penelitian secarah keseluruhan pulau Seram – bagian tengah sampai timur dan kepulauan Seram Laut, bahkan lebih luas ke seluruh kepulauan di Maluku sampai di bagian Tenggara jauh, bahkan mungkin termasuk kepulauan Nusa Tenggara bagian timur. Sebagai anak suku-bangsa Alifuru kami berterimakasih kepada mereka para Antropolog, akan tetapi menyayang bahwa sejarah Alifuru yang ditulis tidak mewakili secara utuh Sejarah suku-bangsa Alifuru, yang adalah penduduk asli gugusan kepulauan yang sekarang menjadi bagian wilayah negara Indonesia yaitu Proponsi Maluku – Maluku Utara.

Selain itu menelusur sejarah awal suku-bangsa Alifuru melalui sumber penulisan yang dilakukan bangsa asing seperti China. China mungkin dianggap salah satu bangsa yang cukup tua dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tulisan maupun tekhnologi armada pelayaran samudera. Bisa saja bangsa China yang paling awal berada di kepulauan Alifuru-Maluku. Terdapat bukti kebendaan berupa alat perlengkapan makan-minum  berbahan keramik seperti piring, mangkok, kendi dan tempayan air, made in para Dinasti Kekaisaran bangsa China awal abad Masehi bahkan sebelum Masehi, banyak ditemukan di pulau Seram dikalangan keluarga Alifuru dan juga pecahan-pecahan yang sudah menjadi belingpun dapat jumpai tersebar di kawasan dusun atau hutan, pesisir pantai dan  pedalaman pulau Seram. Dalam hajatan upacara adat suku, perkawanan,  pada pelantikan  Raja secara adat Alifuru, peralatan seperti piring – pina, keramik antiq buatan bangsa China tersebut menjadi alat wajib digunakan atau disediakan, paling tidak sebagai tatakan menyuguhkan Sirih Pinang. Hal kebiasaan yang merata disemua orang suku-bangsa Alifuru sejak dahulu dan hingga sekarungpun masih seperti itu, sayangnya sekarang ini piring keramik antiqnya sudah banyak yang lenyap. 


Tentang bangsa China ditemukan keterangan bahwa pada abad ke-14 atau tahun 1421 Masehi, saat  Kaisar Zhu Di berkuasa,  Zhu Di telah memerintahkan armada laut China untuk melakukan ekspedisi untuk menguasai kembali alur laut pelayaran di Asia Tengah dari bangsa Arab sekaligus mengulang alur pelayaran dagang yang pernah dilakukan dan didominasi sebelumnya pada abad ke-9 di saat masa Dinasti Tang. (Menzies, Gavin, 1421 Saat China Menemukan Dunia, [terj. Tufel Najib Msyadad], Jakarta: Pusat Alvabet, September 2006). Disini tidak ada keterangan lengkap yang mengisahkan tentang keberadaan dan kehidupan sosial, kecuali kegiatan ekonomi dari para penghuni kepulauan Maluku, yang rempah-rempahnya menjadi bagian dari muatan komoditi dagang armada tersebut. Pada sumber lain yaitu  Peta Rotz  yang mengungkap alur pelayaran armada China menuju ke Pulau Rempah-rempah, peta yang juga digunakan pelaut Spanyol Magellan berlayar akhirnya menemukan Maluku, yaitu peta yang digambar oleh kartografer di atas armada kapal Zhou Man, hanya  untuk menentukan posisi kepulauan rempah-rempah dalam alur pelayaran dari China ke benua bangsa Aborigin di selatan dan kembali ke  China. 
                                                                                     
Demikian juga sebagaimana yang dikutip oleh Menzies, dalam salah satu dokumen dari Ma Huan, hanya menceciterakan tentang cara bertransaksi yang dilakukan secara barter dengan masyarakat Alifuru setempat. Atau sama dengan Des Alwi yang menyebut bahwa hasil penelitian Universitas Brown, Amerika Serikat dengan Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira dan Universitas Pattimura pada 1996-1998, bahwa: kira - kira 900 sampai 1.000 tahun yang lalu kapal-kapal China sudah berdagang di Banda karena ditemukan pecahan piring-piring zaman Dinasti Ming dan juga pecahan kendi-kendi, tempayan dari tanah liat yang dibuat oleh orang Banda pada zaman Pra Islam abad ke-9. Begitu pula jauh waktu sebelumnya di masa kekuasaan dinasti Tan (618 – 907 M) telah dikenal rempah-rempah sebagai pengharum mulut, tapi tidak ada penjelasan jenis rempah-rempah apa. Bahkan masa-masa sebelum dan awal abad sesudah Masehi banyak data informasi dan cerita tentang rempah-rempah, yang diindikasikan antara lain adalah cengkih.

 Era tulisan yang mencantumkan keberadaan kepulauan Maluku– bukan nama kepulauan Alifuru,  dengan bermacam sebutan terhadap “nama Maluku”, sekadar mengungkap nama wilayah dalam posisi geografis  yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam rempah-rempah cengkih dan pala. Bermula saat bangsa Arab, juga India-Gujarat, dengan jalan dagang yang hadir melalui jalur sutra-jalur perniagaan  darat tertua di daratan benua Asia yang juga melalui China, bangsa Arab sampai di kepulauan Alifuru, kemudian menyusul bangsa Eropa yang kemudian menjadi bangsa Penjajah, tidak saja di Maluku tetapi seluruh kepulauan di Nusantara. Antara bangsa Arab dan Eropa selain misi perniagaan juga hadir dengan misi menyebarkan keyakinan terhadap Ketuhanan. Bangsa Arab dengan agama Islam dan Eropa dengan agama Kristen Khatolik dan Protestan. Kehadiran kedua bangsa ini hanya berbeda beberapa abad.

Bangsa Arab diperkirakan sudah ada antara abad ke 7-9, sebagian sejarawan mengatakan pada abad ke-13, sedangkan bangsa Eropa datang pada awal abad ke16. Sejak itulah kepentingan ekonomi dan misi agama      di bumi Alifuru menjadi terdokumentasikan dalam tulisan, baik berbahasa arab, berbahasa melayu berabjad arab – arab gundul, dan berbahasa Portogis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Sedangkan keberadaan masyarakat bangsa pribumi Alifuru – tidak jelas menyebutkan istilah Alifuru, hanya semacam catatan pinggir yang diselip untuk dikatakan hampir tidak ada semasekali, yang ada hanya berupa catatan tentang para Raja-raja yang menjadi teman misi atau catatan para musuh yang menentang.


Sejarah Alifuru memang sulit dibuktikan keberadaannya secara benar melalui data dokumenter berbasis tulisan, bila dibaca seperti yang terungkap melalui beberapa kepustakaan yang diungkap  kembali belakangan ini di media cetak atau online. Hampir semua informasi yang diungkap dan ditulis dapat disimpulkan semua bermula disaat kedatangan bangsa-bangsa asing, China, Arab dan Eropa. Selain itu yang hampir tidak ada adalah sumber dari keberadaan Kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, masa sebelum kedatangan bangsa-bangsa asing.

Beberapa catatan dan tulisan di media masa – selain dari para Antropolog, yang mengungkap sejarah suku-bangsa Alifuru, hampir semuanya sulit untuk dikatakan telah dapat mengungkap secara detail dan benar, apalagi dibilang jujur. Selain tidak didukung bukti dan data yang  memang sangat sulit ditemukan, juga cenderung bias dan memuat kepentingan penulis juga penutur sumber sejarah. Apalagi sumber data seperti situs, prasasti, alat atau perabotan, apalagi dokumen tertulis tidak ditemui atau tidak diungkap samasekali dalam mengungkap jejak keberadaan awal suku-bangsa Alifuru. Kecuali tanda atau tempat di alam seperti batu, gunung, bukit dan lembah,  kali, area – dusun, dan hutan yang menjadi titik mula berkisah tutur secara

lisan oleh siapapun sumber sejarahnya, belum lagi diperparah dan menjadi rancu oleh siapa saja sekarang ini yang merasa  atau mengaku anak keturunan suku-bangsa Alifuru bisa bercerita dan bertutur, menurut versi atau sudut pandang dan kepentingan masing-masing.  


Berpedoman pada ciri-ciri bentuk fisik dan adat kebiasaan kehidupan sosial yang terlihat secara kasat mata, antara lain memiliki kulit gelaprambut ikalkerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletis. Maka suku-bangsa Alifuru terlihat sangat berbeda dengan suku-bangsa lain di Indonesia, kecuali seperti suku Timor di kepulaun Nusa Tenggara bagian Timur. Adapun terlihat kesamaan  dengan suku-bangsa di kepulauan Samudera Pasifik  seperti orang Fiji, Tonga, Tahiti, Hawai dan sekitarnya. Mungkin saja ada keterkaitan, sehingga dalam mengungkap tentang sejarah Alifuru di kepulauan Maluku mendapatkan data tambahan dari lain tempat sebagai pembenaran faktual era sejarah kehidupan suku-bangsa Alifuru yang lebih dapat dipertanggung jawabkan.   

Masyarakat Alifuru hingga kini masih kental pemahaman adat kebiasaan,  khususnya bahasa yang hingga hari ini masih berkomunikasi dengan bahasa anak suku Alifuru di masing-masing wilayahnya, khususnya di pulau Seram. Dengan menulusur melalui perbendaharaan bahasa-bahasa, dapat saja memahami dan menafsirkan sejarah tutur yang masih terpelihara. Dimana pada suku-bangsa Alifuru, khususnya di pulau Seram – yang dikatakan sebagai awal mula dan sumber manusia Alifuru di Maluku, masih terpelihara  dan memiliki kekayaan bahasa yang sangat beragam tetapi terdapat sebagian kesamaan kosa kata dan yang membedakan adalah aksen atau nada, tekanan ucap dan imbuhan pada akhiran atau awalan kata.

 Namun apabila menggunakan alur penelusuran melalui bahasa, maka bukan bahasa komunikasi sehari-hari yang dijadikan rujukan penelitian tetapi yang disebut Bahasa Tana(h) = Kapatah = Talili - istilah Alifuru Tunlutih, yaitu bahasa tutur yang bukan bahasa komunikasi dan tidak dapat dipercakapkan, hanya  diucapkan sepihak atau satu arah oleh satu orang. Bahasa ini “sebagian” masih hidup dan terpelihara dengan baik di mata-rumah/rumah tau-uma-tau/marga tertentu khususnya keluarga keturunan Raja, Kapitan dan Saneri Negeri.

Bahwa bahasa tana dalam penggunaannya memakai istilah-istilah dalam setiap kosa kata yang tidak umum digunakan dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi dipakai untuk menandai dan mengungkapkan satu peristiwa atau menandai sesuatu, baik tempat, orang, benda atau era di masa lalu.  Kekayaan informasi yang termuat dalam perbendaharaan tutur bahasa tana suku-bangsa Alifuru, dapat dikatakan merupakan pencapaian luar biasa kemajuan pengetahuan melalui penciptaan bahasa tana (bahasa lisan) menggantikan bahasa tulis, sebagaimana bangsa lain.

Hal tersebut di atas, menunjukan bahwa titik fokus penulusuran sejarah suku-bangsa Alifuru intinya bersumber dari sejarah tutur atau bukti dalam bahasa lisan – bahasa tana, merupakan rana tersedia  adanya, selain terus mencari lagi sumber baru dan di lain tempat di luar Maluku. Agar anak-cucu Alifuru hari ini dan akan datang dapat terpenuhi pengetahuan secara baik sejarah tentang asal-usul suku-bangsanya dan lebih jauh tentu untuk mengenali jati diri, mengetahui identitas pribadi, keluarga dan posisi suku-bangsa Alifuru dalam dokumentasi perjalanan sejarah Indonesia maupun sejarah dunia.

Sejarah suku-bangsa Alifuru saat masih seperti dongeng menjelang tidur, cenderung tergerus zaman dan bisa saja terlupakan. Hal kemudian dapat memunculkan versi sepihak dan pembenaran terhadap pengaburan sejarah yang disengaja oleh para pihak yang sejatinya bukan berasal dari garis vertikal darah keturunan suku-bangsa Alifuru. Demikian.

‘Aupuluu, naa a kokukum naa a sosopam’, ayo bersama peduli Alifuru.

                                                                                                                                                                                       

Depok, 30 April 2013

                 Oleh : M. Thaha Pattiiha /(Lele’e  Iha-Tehuayo )
           
Catatan ; Tulisan ini semata ungkapan pemikiran  pribadi penulis, dilengkapi berbagai sumber tulisan dan kepustakaan sebagai referensi yang tentunya masih ada kekurangan. Akan tetapi dengan kebersamaan, berpikir jernih, mengungkap bijak tanggapan dan wawasan dalam ruang diskusi yang beretika, cerdas, positif, bermanfaat, bermaksud saling menata pengetahuan, menjadikan segalanya damai dan  indah.     

Senin, 22 April 2013

Surat dari Jakarta ; ANAK NEGERI DI TANAH JAWA


Surat dari Jakarta ;                                                                             ANAK NEGERI  
                             DI TANAH JAWA  
                                                         
         Di sebuah stasiun kereta api pinggiran Jakarta beberapa tahun silam beta* bertemu dengan seorang mantan petinju profesional asal Maluku. Dengan lamban dan kadang terbatah-batah dia bercerita ingin pulang ke kampungnya di Maluku,  akan tetapi tidak memiliki ongkos. Karier tinju yang dijalaninya telah berakhir tanpa prestasi yang baik. Tetapi yang dialami adalah dampak buruk kesehatan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sambil menikmati kopi pedagangan asongan di peron stasiun kereta api, katong bacarita*. Dia tidak memiliki uang samasekali, bahkan untuk ongkos kereta listrik yang hanya duaribu rupiah – saat itu, pun tidak punya.
Dilain waktu, beta bertemu lagi dengan orang lain. Yang ini cenderung diam dan sulit berbicara karena dipukuli dalam penjara dan tidak mendapatkan fasilitas perawatan kesehatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Ketika  beta temui, dia baru bebas dari menjalani hukuman penjara akibat terlibat bentrok kelompok masa dengan kelompok (suku) lain mempertahankan lahan tanah milik perusahaan pengemban perumahan. Dijebloskan kedalam penjara akibat menebas lawannya dengan parang. Beta ajak dan tinggal beberapa waktu di rumah beta,  lalu dipulangkan ke  kampungnya di Maluku.

Beberapa bulan lalu dari seorang kenalan anggota Polisi (Brimob) beta diingatkan untuk berhati-hati di jalan. Kabarnya ada pencarian “orang(suku) Ambon”, karena ada anggota Brimob yang di pukuli oleh “orang(suku) Ambon”di sekitar kota Depok. Lalu beberapa minggu lalu beradar berita melalui BBM (Blackberry Masanger), ditujukan kepada “orang(suku) Ambon” agar tidak keluar rumah karna sedang dicari-cari oleh orang(suku) tertentu sebagai akibat bentrokan perebutan lahan parker disuatu tempat di kota Bekasi yang menyebabkan jatuh korban di pihak orang(suku) setempat.
      Kabar berita seperti disampaikan di atas hanya bagian kecil dari setumpuk masalah dan kasus anak negeri di rantau orang. Bila dihimpun untuk diceritakan, membutuhkan banyak lembar halaman dan bersambung bahkan tidak pernah berujung dan tamat.                          Berpuluh tahun sebelumnya, sekarang dan mungkin sampai sekian waktu ke depan, masih akan mungkin ditemui kejadian, peristiwa, kasus dan tidak lagi menjadi konsumsi berita di media karena terlalu sering terjadi dan akan mungkin nanti masih terjadi lagi.
         Indonesia merupakan negara dengan lebih dari dua ratus lima puluh suku bangsa dengan bahasa, adat istiadat masing-masing, ada berbagai agama dan kepercayaan, terpisah-pisah di pulau-pulau dibentangan ruang wilayah laut yang lebih luas sekian kali dari wilayah seluruh negara Eropa, bahkan warna kulit atau ras pun hampir bisa dengan mudah dibedakan. Ke-behineka tunggal ika-an, difalsafahkan sebagai kesatuan dalam perbedaan, sepertinya bagus dalam ramuan tapi masih mungkin sangat terasa pahit kala diminum, atau mungkin tidak semudah meracik rujak pantai Natsepa, yang menyatukan berbagai buah manis, asam, tawar, dengan bumbu yang manis, asin dan pedas.           
     Di Jakarta semua uang di Negara ini terkumpul, ibukota Negara, konsentrasi ekonomi dan dari Jakarta,  Indonesia dengan segala isinya di atur, dikendalikan, dan dipusatkan, termasuk pusat tujuan orang Indonesia termasuk dari Ambon-Maluku dan juga pusat banjir. Di Maluku, kota Ambon menjadi pemusatan seperti Jakarta van Amboina, miniatur Indonesia untuk Maluku. Semua berpusat di kota Ambon sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian, konsentrasi tujuan perjalanan dari berbagai wilayah pulau di Maluku.
Dari Ambon, beta mendapat cerita dari  seorang teman bahwa kota Ambon sekarang  kian sesak, sempit, kumuh, kotor dan semrawut, juga banjir besar, bukit-bukit terjal yang mudah longsor sudah menjadi lokasi hunian warga. Jalan raya yang sudah tidak seberapa panjang dan luas tidak lagi mampu memuat kendaraan yang lebih banyak kendaraan pribadi. Masih menurut yang di kabarkan telah terjadi perubahan signifikan peningkatan kesejahteraan masyarakat Maluku yang ditandai peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor hingga macet dimana-mana di kota Ambon, kata temanku itu komentar dari pejabat pemegang kekauasaan. Tapi ada catatan kaki dari cerita itu bahwa kendaraan pribadi ber-plat nomor polisi berwarna hitam yang banyak itu mestinya ber-plat merah, karena setiap tahun selalu ada anggaran pengadaan kendaraan mobil  di anggaran daerah (APBD).
     Antara Jakarta dan Ambon dalam “cerita” di atas tentunya ada perbedaan, namun ada juga persamaannya, yaitu menjadi tujuan orang. Jakarta menjadi tujuan semua orang Indonesia dan Ambon menjadi tujuan semua orang di Maluku.
Ketika sesorang meninggalkan tempat kelahiran atau kampung halamannya, ada banyak alasan tapi sejatinya adalah meratau karena suatu tujuan. Sekadar merantau adalah terserah yang bersangkutan atau siapapun. Akan tetapi bila alasan ketidak-tersediaan ruang dan peluang untuk menjalani kehidupan sehingga sesorang harus merantau, maka ini yang menjadi permasalahan.
Penciptaan peluang dan dan ruang dalam konteks penyelenggaran pemerintahan, merupakan tanggung jawab utama para penjabat pemegang kekuasaan di semua tingkatan, guna melayani kepentingan masyarakat memenuhi kebutuhan dan mewujudkan impian-impiannya.
     Membayangkan Maluku yang kaya dengan berbagai sumber daya alam pada ruang wilayah yang begitu luas dan indah, sangatlah disesali bahkan tidak perlu terjadi, kala memaknai potongan-potongan cerita yang beta sampaikan di awal tulisan ini. Mesti segera ada introspeksi pada tataran serta rana kesadaran dan keikhlasan serta ketulusan para penyelenggara pemerintahan di Maluku untuk benar-benar membaktikan jabatannya untuk pengelolaan kebijakan yang semata bertujuan mensejahterakan masyarakat dengan adanya kelimpahan sumber daya yang begitu kaya dan menjanjikan. Dengan begitu orang Ambon-Maluku tidak harus terlantar dan menjadi “preman” di Jakarta.
Ya, siapa suruh datang Jakarta ? tidak ada yang menyuruh, tetapi pada kenyataannya ruang dan peluang yang sengaja secara sadar tidak dibuat dan disediakan oleh para pejabat pemegang kebijakan  publik di Maluku, sehingga manakala memilih menjadi “preman” tentu bukan pilihan apalagi solusi anak negeri dari Ambon-Maluku di Jakarta, tapi adalah keterpaksaan dan kondisi seperti ini mestinya ada yang bicara mengatakan bertanggung jawab sekaligus menawarkan jalan keluar.
Adakah diantara para calon Gubernur Maluku memiliki visi, misi dan program mengenai orang Maluku yang terlantar dan menjadi preman di negeri orang ?  
          Demikian kabar, berita dan cerita nasib anak negeri Ambon-Maluku di Jakarta-tanah Jawa** untuk basudara di kampung halaman.  
Bekasi, Awal Tahun  2013

 Oleh : M.Thaha Pattiiha _______________________________                                                                                                   
 Direktur Eksekutif  LSM ‘EMBUNCommunity, tinggal di Kota Bekasi.
)*  beta (saya),  katong bacarita (kami saling bercerita) – bhs.orang di Ambon
)** tanah jawa - dari lagu Ambon ; ‘beta pergi merantau’

Sabtu, 20 April 2013

Pilkada Maluku 2013 - Menakar Para Kandidat ‘PEMIMPIN’ Maluku


Pilkada Maluku 2013
Menakar Para Kandidat PEMIMPIN Maluku

          Adakah yang lebih menyebalkan selain dari harapan-harapan yang tidak terpenuhi? Mungkinkah dengan diam dalam ke-tawakal-an sesorang ataupun banyak orang, segenap ketidak berdayaan dengan segudang ketidak puasan dapat terselesaikankah. Selalu demikian ketika membangun impian dengan membebankan kepada seseorang atau orang lain yang dianggap pemimpin, selalu menimbulkan ketidak pastian, sebab pemenuhannya ada pada sang “pemimpin”.
Manakah kriteria baku persyaratan pemimpin seperti yang dipelajari dan difahami, berbanding lurus dengan kenyataan sepanjang waktu hingga kini, kala tumpukan permasalahan tidak juga terselesaikan. Harapan-harapan entah kapan terwujud.
          Disemua pemeluk agama dengan masing-masing kitab sucinya, ada ajaran tentang kepemimpinan, bagaimana menjadi pemimpin dan menjalankan kepemimpinannya, termasuk catatan berupa peringatan dan sanksi. Tentunya ajaran semua agama tentang kesadaran akan akibat buruk menghianati perintah Tuhan, tentu tidak perlu lagi diingatkan bisa-bisa dianggap sok meng-guru-i.
          Begitulpun para “pemimpin” yang saat ini berseteru mengadu nasib memperebutkan kursi orang nomor satu dan dua, Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi - Seribu Pulau, Maluku.
          Dalam alam demokrasi saat ini semua orang terbuka kesempatan mengajukan dirinya untuk dijadikan pemimpin, melalui tahapan yang dipersyaratkan oleh aturan-aturan dan Undang-undang. Tidak ada yang membatasi kecuali persyaratan itu sendiri. Yang tidak ikut-ikutan menjadi kontestan, padanya terletak hak istimewa untuk memutus, menentukan nasib para calon pemimpin, siapa yang akan dipilih.
          Di berbagai tempat terpasang spanduk, stiker atau balihgu dengan ukuran maksimal, dengan mudah kita dapat melihat gambar wajah atau sosok orangnya, membaca tampilan visi, misi dan program pembangunan yang tertulis, selalu bagus.Karena memang dibuat dengan mempertimbangkan berbagai hal yang memungkinkan terlihat indah dan menarik untuk dilihat dan dibaca orang. Tapi dibalik itu semua, sikap bijak dan nalar intelektual berbarengan dengan menggunakan daya tapis dan analisa etika dan moral akan menghasilkan pemahaman yang transparan serta utuh  mengetahui bahwa karakter dan otobiografi para calon, ternyata kadang berbanding terbalik dengan yang dipublikasikan.
Sebagian besar para calon masih berstatus memimpin daerah, baik di Propinsi maupun di Kabupaten. Tidak ada larangan, tapi ada ukuran realistis matematis, sekalipun ini rana politik dimana pendekatan pemahaman memakai keterbukaan ruang demokrasi.
          Acuan untuk mengukur kadar kemampuan dan kematangan menjadikan seseorang mengajukan diri menjadi pemimpin, bilamana pola pragmatis yang digunakan untuk meraih kemenangan. maka jangan pernah berharap pada  kapabilitas dan kapasitas yang bersangkutan  untuk nantinya mewujudkan  kepentingan orang banyak atau masyarakat.
          Ukuran-ukuran teori politik relatif dengan mudah ditemui dengan bercermin seperti apa gambaran kepemimpinan di wilayah masing-masing kandidat yang hari ini masih menjadi tanggungjawab jabatannya. Baik, buruk, berhasil, biasa saja atau luar biasa, selalu dipengaruhi sudut pandang dari sisi yang mana dan siapa dia. Seperti apa hubungannya dengan sang calon, masih bias dan menimbulkan debatable, apalagi bila memakai pendekatan teori politik ‘forum politik rumah kopi’.     
          Mestinya ketika seseorang mangajukan diri untuk menjadi calon Gubernur – Maluku, sejatinya secara pribadi mempertimbangkan lebih dahulu kapasitas dan keunggulan prestasi yang telah dicapai dan mumpuni untuk dijual kepada masyarakat, katakanlah Joko Widodo (Jokowi) –Gubernur DKI Jakarta sekarang, yang berhasil sebagai Walikota Solo.
Pencapaian dan keberhasilan program pembangunan adalah unggulan lain setelah kepribadian dan performa diri yang begitu sangat dipercaya karena bersih dari kasus menyalagunaan kekuasaan, baik untuk memperkaya diri atau orang lain. Model Jokowi sangat tidak pantas bila kita sandingkan untuk mengatakan ada persamaannya dengan para calon Gubernur Maluku saat ini. Ma’af,  itu salah berpikir. Kemasan baru, isi binasa.
            Ruang demokrasi yang salah asah dan keliru asuh, memungkinkan mereka yang hanya memiliki kekuasaan karena sedang menjabat dan/atau ber-uang-lah yang berkesempatan.  
Lupakan impian anak negeri yang hanya bermodal intelektual dan ketulusan untuk mengabdi membangun kesejahteraan masyarakat Maluku, tidak dimungkinkan bila tidak ber-uang.  Cukuplah berkhayal pada alam impian dan menuai kenyataan di hembusan angin pantai. Atau cukuplah mencatatkan cita-cita itu di buku wasiat. Agar disuatu waktu dilain kesempatan anak cucu akan membacanya lalu memotivasi mereka untuk mentuntaskan cita-cita dan impian tersebut, dimana saat itu alam demokrasi tidak lagi berhati singa yang bisa memakan anak sendiri seperti sekarang ini.
           Kemurnian pengertian demokrasi termasuk pembagian kekuasaan dengan trias politikanya yang telah ada beribu tahun hanya menjadi ilmu wajib perpolitikan berdasarkan kekuasaan rakyat yang didelegasikan melalui perwakilannya  di pemerintahan, hanya teori di buku. Hak kekuasaan yang dimiliki rakyat dimanipulasi dengan cara membeli suara mereka,  suatu cara mudah sekarang ini menggapai impian peluang berkuasa  bakal gampang diperoleh.
Jangan berharap para calon mengajarkan moral dan etika demokrasi yang sesungguhnya. Kampanye hanya omong kosong belaka, karena setelah terpilih, sang pemimpin berpesta sendiri dengan musik sunyi berirama sepi, di ruang-ruang mewah sambil menebar saweran.
           Alasan-alasan rasional untuk menakar kemampuan para kandidat calon Gubernur Maluku dengan bercermin pada pencapaian prestasi yang saat ini diemban saja, masih jauh dari harapan. Kecuali pencapaian prestasi korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah bertahun-tahun terindikasi tapi belum satupun yang jadi tersangka apalagi terhukum dan masuk bui.  Yang saat ini menjadi beban tugas dan tanggung jawab dengan ukuran wilayah pemerintahan (kabupaten) yang kecil terbatas saja belum mampu, bagaimana mengurus wilayah provinsi yang lebih besar dengan rentang kendali wilayah laut yang luas (?).  Lalu prestasi positif apa yang akan di tawarkan kepada masyarakat kala berkampanye dengan maksud merayu untuk mendapatkan perhatian rakyat membeli jualan program maupun visi misi sang kandidat-calon Gubernur.
Sepertinya mungkin memakai cara yang lebih santun, sopan dan peduli yaitu tehnik kampanye door to door, membagi rupiah dan sarung. Ya, seperti itulah yang selalu dilakukan selama ini, efektif, suarapun diraih, menang, jadi Gubernur Maluku.
 Dengan demikian dikala menjabat sebagai Gubernur, yang bersangkutan harus berkonsentrasi dan kreatif guna memperbesar “pendapatan”  bagi diri sendiri  agar bisa mengembalikan tambunnya ongkos pengeluaran saat kampanye pencalonan, ongkos membayar rekomendasi partai, biaya sosialisasi, biaya pada masa kampanye, biaya saksi, termasuk rupiah dan sarung atau barang untuk ditukar dengan suara, dan lain pengeluaran tak terduga.
            Berpikir etis dan positif untuk berharap pada para calon Gubernur Maluku saat ini untuk menitipkan kepada mereka Maluku ke depan untuk lebih baik, seperti menyelam untuk menemukan dasar palung laut Banda, kian dalam makin gelap, makin menyelam kian misterius.
Yang pasti Pilkada tetap berlangsung, sejatinya rakyat Maluku diajak dalam moment demokrasi yang mencerdaskan, meminimalisir politik pragmatisme, berkampanye secara jujur, positif dan obyektif. Karena tentunya masih ada harapan yang terbetik di benak masyarakat Maluku, dan hal itu jangan sampai salah terjemahannya hanya pada saat dibutuhkan ketika ada hajatan pemilihan Kepalah Daerah Provinsi atau Gubernur seperti sekarang ini, bila cuma sebatas itu daya dan pola pikirnya maka masyarakat Maluku hanya boleh bermimpi.
Bekasi, 11 Maret 2013

Penulis adalah Putra Seram - Maluku.Tinggal di Bekasi 
Ketua/Direktur Eksekutif :  EMBUN Community,  – (LSM Perlindungan Lingkungan & Ekosistem)