Senin, 22 April 2013

Surat dari Jakarta ; ANAK NEGERI DI TANAH JAWA


Surat dari Jakarta ;                                                                             ANAK NEGERI  
                             DI TANAH JAWA  
                                                         
         Di sebuah stasiun kereta api pinggiran Jakarta beberapa tahun silam beta* bertemu dengan seorang mantan petinju profesional asal Maluku. Dengan lamban dan kadang terbatah-batah dia bercerita ingin pulang ke kampungnya di Maluku,  akan tetapi tidak memiliki ongkos. Karier tinju yang dijalaninya telah berakhir tanpa prestasi yang baik. Tetapi yang dialami adalah dampak buruk kesehatan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sambil menikmati kopi pedagangan asongan di peron stasiun kereta api, katong bacarita*. Dia tidak memiliki uang samasekali, bahkan untuk ongkos kereta listrik yang hanya duaribu rupiah – saat itu, pun tidak punya.
Dilain waktu, beta bertemu lagi dengan orang lain. Yang ini cenderung diam dan sulit berbicara karena dipukuli dalam penjara dan tidak mendapatkan fasilitas perawatan kesehatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Ketika  beta temui, dia baru bebas dari menjalani hukuman penjara akibat terlibat bentrok kelompok masa dengan kelompok (suku) lain mempertahankan lahan tanah milik perusahaan pengemban perumahan. Dijebloskan kedalam penjara akibat menebas lawannya dengan parang. Beta ajak dan tinggal beberapa waktu di rumah beta,  lalu dipulangkan ke  kampungnya di Maluku.

Beberapa bulan lalu dari seorang kenalan anggota Polisi (Brimob) beta diingatkan untuk berhati-hati di jalan. Kabarnya ada pencarian “orang(suku) Ambon”, karena ada anggota Brimob yang di pukuli oleh “orang(suku) Ambon”di sekitar kota Depok. Lalu beberapa minggu lalu beradar berita melalui BBM (Blackberry Masanger), ditujukan kepada “orang(suku) Ambon” agar tidak keluar rumah karna sedang dicari-cari oleh orang(suku) tertentu sebagai akibat bentrokan perebutan lahan parker disuatu tempat di kota Bekasi yang menyebabkan jatuh korban di pihak orang(suku) setempat.
      Kabar berita seperti disampaikan di atas hanya bagian kecil dari setumpuk masalah dan kasus anak negeri di rantau orang. Bila dihimpun untuk diceritakan, membutuhkan banyak lembar halaman dan bersambung bahkan tidak pernah berujung dan tamat.                          Berpuluh tahun sebelumnya, sekarang dan mungkin sampai sekian waktu ke depan, masih akan mungkin ditemui kejadian, peristiwa, kasus dan tidak lagi menjadi konsumsi berita di media karena terlalu sering terjadi dan akan mungkin nanti masih terjadi lagi.
         Indonesia merupakan negara dengan lebih dari dua ratus lima puluh suku bangsa dengan bahasa, adat istiadat masing-masing, ada berbagai agama dan kepercayaan, terpisah-pisah di pulau-pulau dibentangan ruang wilayah laut yang lebih luas sekian kali dari wilayah seluruh negara Eropa, bahkan warna kulit atau ras pun hampir bisa dengan mudah dibedakan. Ke-behineka tunggal ika-an, difalsafahkan sebagai kesatuan dalam perbedaan, sepertinya bagus dalam ramuan tapi masih mungkin sangat terasa pahit kala diminum, atau mungkin tidak semudah meracik rujak pantai Natsepa, yang menyatukan berbagai buah manis, asam, tawar, dengan bumbu yang manis, asin dan pedas.           
     Di Jakarta semua uang di Negara ini terkumpul, ibukota Negara, konsentrasi ekonomi dan dari Jakarta,  Indonesia dengan segala isinya di atur, dikendalikan, dan dipusatkan, termasuk pusat tujuan orang Indonesia termasuk dari Ambon-Maluku dan juga pusat banjir. Di Maluku, kota Ambon menjadi pemusatan seperti Jakarta van Amboina, miniatur Indonesia untuk Maluku. Semua berpusat di kota Ambon sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian, konsentrasi tujuan perjalanan dari berbagai wilayah pulau di Maluku.
Dari Ambon, beta mendapat cerita dari  seorang teman bahwa kota Ambon sekarang  kian sesak, sempit, kumuh, kotor dan semrawut, juga banjir besar, bukit-bukit terjal yang mudah longsor sudah menjadi lokasi hunian warga. Jalan raya yang sudah tidak seberapa panjang dan luas tidak lagi mampu memuat kendaraan yang lebih banyak kendaraan pribadi. Masih menurut yang di kabarkan telah terjadi perubahan signifikan peningkatan kesejahteraan masyarakat Maluku yang ditandai peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor hingga macet dimana-mana di kota Ambon, kata temanku itu komentar dari pejabat pemegang kekauasaan. Tapi ada catatan kaki dari cerita itu bahwa kendaraan pribadi ber-plat nomor polisi berwarna hitam yang banyak itu mestinya ber-plat merah, karena setiap tahun selalu ada anggaran pengadaan kendaraan mobil  di anggaran daerah (APBD).
     Antara Jakarta dan Ambon dalam “cerita” di atas tentunya ada perbedaan, namun ada juga persamaannya, yaitu menjadi tujuan orang. Jakarta menjadi tujuan semua orang Indonesia dan Ambon menjadi tujuan semua orang di Maluku.
Ketika sesorang meninggalkan tempat kelahiran atau kampung halamannya, ada banyak alasan tapi sejatinya adalah meratau karena suatu tujuan. Sekadar merantau adalah terserah yang bersangkutan atau siapapun. Akan tetapi bila alasan ketidak-tersediaan ruang dan peluang untuk menjalani kehidupan sehingga sesorang harus merantau, maka ini yang menjadi permasalahan.
Penciptaan peluang dan dan ruang dalam konteks penyelenggaran pemerintahan, merupakan tanggung jawab utama para penjabat pemegang kekuasaan di semua tingkatan, guna melayani kepentingan masyarakat memenuhi kebutuhan dan mewujudkan impian-impiannya.
     Membayangkan Maluku yang kaya dengan berbagai sumber daya alam pada ruang wilayah yang begitu luas dan indah, sangatlah disesali bahkan tidak perlu terjadi, kala memaknai potongan-potongan cerita yang beta sampaikan di awal tulisan ini. Mesti segera ada introspeksi pada tataran serta rana kesadaran dan keikhlasan serta ketulusan para penyelenggara pemerintahan di Maluku untuk benar-benar membaktikan jabatannya untuk pengelolaan kebijakan yang semata bertujuan mensejahterakan masyarakat dengan adanya kelimpahan sumber daya yang begitu kaya dan menjanjikan. Dengan begitu orang Ambon-Maluku tidak harus terlantar dan menjadi “preman” di Jakarta.
Ya, siapa suruh datang Jakarta ? tidak ada yang menyuruh, tetapi pada kenyataannya ruang dan peluang yang sengaja secara sadar tidak dibuat dan disediakan oleh para pejabat pemegang kebijakan  publik di Maluku, sehingga manakala memilih menjadi “preman” tentu bukan pilihan apalagi solusi anak negeri dari Ambon-Maluku di Jakarta, tapi adalah keterpaksaan dan kondisi seperti ini mestinya ada yang bicara mengatakan bertanggung jawab sekaligus menawarkan jalan keluar.
Adakah diantara para calon Gubernur Maluku memiliki visi, misi dan program mengenai orang Maluku yang terlantar dan menjadi preman di negeri orang ?  
          Demikian kabar, berita dan cerita nasib anak negeri Ambon-Maluku di Jakarta-tanah Jawa** untuk basudara di kampung halaman.  
Bekasi, Awal Tahun  2013

 Oleh : M.Thaha Pattiiha _______________________________                                                                                                   
 Direktur Eksekutif  LSM ‘EMBUNCommunity, tinggal di Kota Bekasi.
)*  beta (saya),  katong bacarita (kami saling bercerita) – bhs.orang di Ambon
)** tanah jawa - dari lagu Ambon ; ‘beta pergi merantau’

Sabtu, 20 April 2013

Pilkada Maluku 2013 - Menakar Para Kandidat ‘PEMIMPIN’ Maluku


Pilkada Maluku 2013
Menakar Para Kandidat PEMIMPIN Maluku

          Adakah yang lebih menyebalkan selain dari harapan-harapan yang tidak terpenuhi? Mungkinkah dengan diam dalam ke-tawakal-an sesorang ataupun banyak orang, segenap ketidak berdayaan dengan segudang ketidak puasan dapat terselesaikankah. Selalu demikian ketika membangun impian dengan membebankan kepada seseorang atau orang lain yang dianggap pemimpin, selalu menimbulkan ketidak pastian, sebab pemenuhannya ada pada sang “pemimpin”.
Manakah kriteria baku persyaratan pemimpin seperti yang dipelajari dan difahami, berbanding lurus dengan kenyataan sepanjang waktu hingga kini, kala tumpukan permasalahan tidak juga terselesaikan. Harapan-harapan entah kapan terwujud.
          Disemua pemeluk agama dengan masing-masing kitab sucinya, ada ajaran tentang kepemimpinan, bagaimana menjadi pemimpin dan menjalankan kepemimpinannya, termasuk catatan berupa peringatan dan sanksi. Tentunya ajaran semua agama tentang kesadaran akan akibat buruk menghianati perintah Tuhan, tentu tidak perlu lagi diingatkan bisa-bisa dianggap sok meng-guru-i.
          Begitulpun para “pemimpin” yang saat ini berseteru mengadu nasib memperebutkan kursi orang nomor satu dan dua, Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi - Seribu Pulau, Maluku.
          Dalam alam demokrasi saat ini semua orang terbuka kesempatan mengajukan dirinya untuk dijadikan pemimpin, melalui tahapan yang dipersyaratkan oleh aturan-aturan dan Undang-undang. Tidak ada yang membatasi kecuali persyaratan itu sendiri. Yang tidak ikut-ikutan menjadi kontestan, padanya terletak hak istimewa untuk memutus, menentukan nasib para calon pemimpin, siapa yang akan dipilih.
          Di berbagai tempat terpasang spanduk, stiker atau balihgu dengan ukuran maksimal, dengan mudah kita dapat melihat gambar wajah atau sosok orangnya, membaca tampilan visi, misi dan program pembangunan yang tertulis, selalu bagus.Karena memang dibuat dengan mempertimbangkan berbagai hal yang memungkinkan terlihat indah dan menarik untuk dilihat dan dibaca orang. Tapi dibalik itu semua, sikap bijak dan nalar intelektual berbarengan dengan menggunakan daya tapis dan analisa etika dan moral akan menghasilkan pemahaman yang transparan serta utuh  mengetahui bahwa karakter dan otobiografi para calon, ternyata kadang berbanding terbalik dengan yang dipublikasikan.
Sebagian besar para calon masih berstatus memimpin daerah, baik di Propinsi maupun di Kabupaten. Tidak ada larangan, tapi ada ukuran realistis matematis, sekalipun ini rana politik dimana pendekatan pemahaman memakai keterbukaan ruang demokrasi.
          Acuan untuk mengukur kadar kemampuan dan kematangan menjadikan seseorang mengajukan diri menjadi pemimpin, bilamana pola pragmatis yang digunakan untuk meraih kemenangan. maka jangan pernah berharap pada  kapabilitas dan kapasitas yang bersangkutan  untuk nantinya mewujudkan  kepentingan orang banyak atau masyarakat.
          Ukuran-ukuran teori politik relatif dengan mudah ditemui dengan bercermin seperti apa gambaran kepemimpinan di wilayah masing-masing kandidat yang hari ini masih menjadi tanggungjawab jabatannya. Baik, buruk, berhasil, biasa saja atau luar biasa, selalu dipengaruhi sudut pandang dari sisi yang mana dan siapa dia. Seperti apa hubungannya dengan sang calon, masih bias dan menimbulkan debatable, apalagi bila memakai pendekatan teori politik ‘forum politik rumah kopi’.     
          Mestinya ketika seseorang mangajukan diri untuk menjadi calon Gubernur – Maluku, sejatinya secara pribadi mempertimbangkan lebih dahulu kapasitas dan keunggulan prestasi yang telah dicapai dan mumpuni untuk dijual kepada masyarakat, katakanlah Joko Widodo (Jokowi) –Gubernur DKI Jakarta sekarang, yang berhasil sebagai Walikota Solo.
Pencapaian dan keberhasilan program pembangunan adalah unggulan lain setelah kepribadian dan performa diri yang begitu sangat dipercaya karena bersih dari kasus menyalagunaan kekuasaan, baik untuk memperkaya diri atau orang lain. Model Jokowi sangat tidak pantas bila kita sandingkan untuk mengatakan ada persamaannya dengan para calon Gubernur Maluku saat ini. Ma’af,  itu salah berpikir. Kemasan baru, isi binasa.
            Ruang demokrasi yang salah asah dan keliru asuh, memungkinkan mereka yang hanya memiliki kekuasaan karena sedang menjabat dan/atau ber-uang-lah yang berkesempatan.  
Lupakan impian anak negeri yang hanya bermodal intelektual dan ketulusan untuk mengabdi membangun kesejahteraan masyarakat Maluku, tidak dimungkinkan bila tidak ber-uang.  Cukuplah berkhayal pada alam impian dan menuai kenyataan di hembusan angin pantai. Atau cukuplah mencatatkan cita-cita itu di buku wasiat. Agar disuatu waktu dilain kesempatan anak cucu akan membacanya lalu memotivasi mereka untuk mentuntaskan cita-cita dan impian tersebut, dimana saat itu alam demokrasi tidak lagi berhati singa yang bisa memakan anak sendiri seperti sekarang ini.
           Kemurnian pengertian demokrasi termasuk pembagian kekuasaan dengan trias politikanya yang telah ada beribu tahun hanya menjadi ilmu wajib perpolitikan berdasarkan kekuasaan rakyat yang didelegasikan melalui perwakilannya  di pemerintahan, hanya teori di buku. Hak kekuasaan yang dimiliki rakyat dimanipulasi dengan cara membeli suara mereka,  suatu cara mudah sekarang ini menggapai impian peluang berkuasa  bakal gampang diperoleh.
Jangan berharap para calon mengajarkan moral dan etika demokrasi yang sesungguhnya. Kampanye hanya omong kosong belaka, karena setelah terpilih, sang pemimpin berpesta sendiri dengan musik sunyi berirama sepi, di ruang-ruang mewah sambil menebar saweran.
           Alasan-alasan rasional untuk menakar kemampuan para kandidat calon Gubernur Maluku dengan bercermin pada pencapaian prestasi yang saat ini diemban saja, masih jauh dari harapan. Kecuali pencapaian prestasi korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah bertahun-tahun terindikasi tapi belum satupun yang jadi tersangka apalagi terhukum dan masuk bui.  Yang saat ini menjadi beban tugas dan tanggung jawab dengan ukuran wilayah pemerintahan (kabupaten) yang kecil terbatas saja belum mampu, bagaimana mengurus wilayah provinsi yang lebih besar dengan rentang kendali wilayah laut yang luas (?).  Lalu prestasi positif apa yang akan di tawarkan kepada masyarakat kala berkampanye dengan maksud merayu untuk mendapatkan perhatian rakyat membeli jualan program maupun visi misi sang kandidat-calon Gubernur.
Sepertinya mungkin memakai cara yang lebih santun, sopan dan peduli yaitu tehnik kampanye door to door, membagi rupiah dan sarung. Ya, seperti itulah yang selalu dilakukan selama ini, efektif, suarapun diraih, menang, jadi Gubernur Maluku.
 Dengan demikian dikala menjabat sebagai Gubernur, yang bersangkutan harus berkonsentrasi dan kreatif guna memperbesar “pendapatan”  bagi diri sendiri  agar bisa mengembalikan tambunnya ongkos pengeluaran saat kampanye pencalonan, ongkos membayar rekomendasi partai, biaya sosialisasi, biaya pada masa kampanye, biaya saksi, termasuk rupiah dan sarung atau barang untuk ditukar dengan suara, dan lain pengeluaran tak terduga.
            Berpikir etis dan positif untuk berharap pada para calon Gubernur Maluku saat ini untuk menitipkan kepada mereka Maluku ke depan untuk lebih baik, seperti menyelam untuk menemukan dasar palung laut Banda, kian dalam makin gelap, makin menyelam kian misterius.
Yang pasti Pilkada tetap berlangsung, sejatinya rakyat Maluku diajak dalam moment demokrasi yang mencerdaskan, meminimalisir politik pragmatisme, berkampanye secara jujur, positif dan obyektif. Karena tentunya masih ada harapan yang terbetik di benak masyarakat Maluku, dan hal itu jangan sampai salah terjemahannya hanya pada saat dibutuhkan ketika ada hajatan pemilihan Kepalah Daerah Provinsi atau Gubernur seperti sekarang ini, bila cuma sebatas itu daya dan pola pikirnya maka masyarakat Maluku hanya boleh bermimpi.
Bekasi, 11 Maret 2013

Penulis adalah Putra Seram - Maluku.Tinggal di Bekasi 
Ketua/Direktur Eksekutif :  EMBUN Community,  – (LSM Perlindungan Lingkungan & Ekosistem)